Kamis, 24 Maret 2011

"Islam Indonesia" Model Islam Masa Depan

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni`matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan,” (QS al-Qashash [28]: 77)

Fazlur Rahman, tokoh Neo-Modernis asal Pakistan di mana pemikirannya banyak memeranguhi para intelektual kita, mengatakan bahwa kebangkitan Islam akan bermula di negeri Jamrud Katulistiwa ini. Rahman optimis, dengan jumlah umat Islam terbesar sedunia, Islam Indonesia nantinya akan menjadi kekuatan signifikan dalam mempengaruhi peradaban dunia.

Berbeda dengan Fazlur Rahman, Azyumardi Azra, Mantan Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (UIN) Jakarta, mengatakan Islam Indonesia akan bisa memengaruhi dan menjadi rujukan di tengah percaturan dan pergumulan dunia, bukan hanya semata dengan jumlahnya, tapi banyaknya lembaga pendidikan Islam yang dimiliki negeri ini, baik dikelola oleh swasta maupun pemerintah.

Islam Indonesia bisa memerankan peran yang signifikan, menurut Azyumardi, jika kita aktif “mengekspor” Islam Indonesia ke negara-negara lain sebagaimana Iran aktif menyebarkan Syiah ke seluruh penjuru dunia pasca-Khomeini atau Arab Saudi yang giat menyebarkan paham Wahabisme-nya ke pelosok negeri-negeri Muslim. Tulisan Azyumardi Azra berikut ini membahas pentingnya “mengekspor” Islam Indonesia ke negara-negara lain agar Indonesia bisa memainkan peran signifikan dalam percaturan global.

Dalam pengalaman saya beberapa tahun terakhir, terlihat kian banyak kalangan luar negeri yang berharap agar model Islam yang mapan dan berkembang di Indonesia dapat disebarkan ke bagian-bagian lain Dunia Muslim. Jadi, meski dalam beberapa tahun terakhir ada terorisme dan kekerasan atas nama Islam, tetapi Islam Indonesia bagi banyak kalangan di luar negeri-baik di Timur Tengah maupun di Barat-tetap merupakan Islam yang distingtif, yang lebih menjanjikan bagi masa depan.

Salah satu distingsi Islam Indonesia itu adalah dalam bidang pendidikan Islam. Indonesia adalah negara yang memiliki paling banyak lembaga pendidikan Islam sejak dari rangkang, surau, pondok, pesantren, raudhatul atfal, TK Islam, diniyah, madrasah, dan sekolah Islam; sejak tingkat kanak-kanak sampai pendidikan tinggi baik milik swasta maupun pemerintah. Dalam bacaan dan kunjungan saya ke berbagai wilayah Dunia Muslim, saya tidak menemukan satu negara Muslim manapun--termasuk di Timur Tengah sekalipun--yang memiliki kekayaan kelembagaan pendidikan Islam yang begitu banyak dan beragam seperti Indonesia.

Lembaga-lembaga pendidikan Islam Indonesia ini, seperti pernah dikemukakan Indonesianis Robert Hefner, merupakan model dari progresivisme Islam; persisnya Islam yang berorientasi untuk mencapai kemajuan dengan melihat ke depan, tidak ke belakang. Karena itulah kian banyak pengamat Timur Tengah dan Barat yang melihat bahwa masa depan Islam banyak terletak pada Islam Indonesia.

Sayangnya, Indonesia tidak terlalu aktif ‘mengekspor’ Islam Indonesia ke negara-negara lain. Ini berbeda dengan Iran pasca-Khomeini yang aktif menyiarkan Syiah di berbagai wilayah Dunia Muslim. Atau Arab Saudi yang gemar menyebarkan Wahabisme ke berbagai tempat; meski kedua paham Islam itu tidak berhasil mendapat pijakan kuat di Indonesia. Karena itulah pihak-pihak yang berminat dengan Islam Indonesia ‘terpaksa’ melakukan upaya-upaya sendiri untuk mengembangkan model Islam Indonesia di negeri mereka masing-masing.

Contoh terakhir dalam hal ini adalah Profesor John Ingelson, Indonesianis, yang juga Kepala Bidang Kerja Sama Universitas Western Sydney, Australia, yang berkunjung ke Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah 19 Juli lalu. Dalam kunjungannya itu, Ingelson menyatakan niatnya bekerja sama dengan UIN Jakarta, khususnya Sekolah Pascasarjana dalam rangka mengembangkan program Islamic Studies yang segera dibuka Universitas Sydney Barat secara konsorsium dengan Universitas Melbourne dan Universitas Griffith, Brisbane.

Kenapa dengan UIN Jakarta? Ingelson melihatnya dalam perspektif Islam Indonesia secara keseluruhan. Pertama-tama, tentu saja karena Indonesia adalah negara Muslim terbesar di dunia, yang kebetulan juga merupakan tetangga terdekat Australia. Sayangnya, tidak banyak orang Australia yang tidak tahu, bahwa sebagian besar penduduk Indonesia adalah beragama Islam. Lagi pula, ketika orang-orang Australia datang ke Indonesia, sebagian besar mereka datang ke Bali, yang mayoritas beragama Hindu. Jika mereka datang ke daerah lain di Indonesia, mereka melihat Islam yang ramah dan damai.


Kedua, bagi warga Australia umumnya, Islam identik dengan Arab, atau Timur Tengah. Apa yang mereka saksikan di televisi dan media lainnya memperlihatkan terus terjadinya konflik dan kekerasan, sehingga banyak di antara mereka mengaitkannya dengan Islam. Dan ini seolah menular ke wilayah-wilayah lain di mana terdapat para imigran Muslim--seperti Australia misalnya--yang datang dari berbagai kawasan Arab dan Timur Tengah yang di tempat baru mereka masih terus bertikai sesama mereka. “Orang-orang Islam ini, seperti orang Palestina dan Lebanon, bahkan tidak mau duduk sama-sama atau berbicara satu sama lain untuk memecahkan berbagai masalah yang mereka hadapi,” ujar Ingleson.

Karena itulah dalam program Islamic Studies yang sedang ia siapkan, Ingelson melibatkan juga para pemimpin dan imam komunitas Muslim yang berbeda-beda untuk memfasilitasi terjadinya dialog dan saling pengertian di antara mereka. Dengan begitu, dapat tercipta suasana yang lebih kondusif, tidak hanya di antara umat Islam sendiri, tapi juga pada gilirannya dengan komunitas-komunitas lainnya di Australia.

Memang, sejak awal meningkatnya konflik di antara Barat dengan masyarakat Muslim tertentu, seperti di Afghanistan, Irak, Madrid, London, dan seterusnya, kian meningkat pula upaya-upaya untuk memahami Islam dan masyarakat Muslim secara lebih baik. Karena itulah muncul berbagai lembaga dan program baru menyangkut Islamic Studies di Dunia Barat. Indonesia dengan pengalamannya yang panjang dalam Islamic Studies, khususnya pada tingkat pendidikan tinggi dapat memberikan sumbangan penting. Jika bisa digalang lebih intens lagi, maka ini merupakan satu bentuk daripada upaya untuk ‘mengekspor’ Islam Indonesia ke berbagai wilayah mancanegara. Dengan begitu pula, Islam Indonesia kian menjadi rujukan di tengah percaturan dan pergumulan dunia.

Selama ini masyarakat Barat Islam selalu mengidentikkan Islam dengan Arab. Dalam pandangan mereka, menjadi Muslim berarti menjadi orang Arab atau mengikuti budaya Arab. Di sinilah pentingnya memperkenalkan Islam Indonesia ke negara-negara Barat bahwa Islam tidaklah identik dengan orang-orang Arab yang menurut Prof John Ingelson-sebagaimana dikutip oleh Azra-tidak mau duduk bersama menyelesaikan masalah yang terjadi di antara mereka.

Wallahu a`lam bis sawab

Default Masa Depan Islam Di Indonesia

Islam Problematika dan Kebangkitan
Islam memang pernah berjaya. Yang jelas, sekarang tidak. Islam sekarang menjadi bulan-bulanan politik barat dan keberingasan dari dalam dirinya sendiri. Ajaran kekerasan di dalam tubuh Islam menjadi bumerang yang memakan dirinya sendiri. Bayangkan bom-bom bunuh diri membunuh sesama masyarakat Islam di Irak tidak peduli ini telah memasuki bulan suci Ramadhan. Afghanistan dan Lebanon luluh lantak dihajar peluru Barat melalui Amerika dan Israel.

Negara-negara Islam hanya bisa diam tidak membela saudaranya, takut negaranya juga bisa menjadi sasaran tembak. Suriah terdiam. Arab dan Kuwait malah menampung pasukan Amerika, sejak invasi Saddam Hussein yang menakutkan mereka. Ukhuwah Islamiah mati, dikalahkan nasionalisme lokal / setempat atau memang adanya ketidakseimbangan kekuatan militer dunia Islam melawan Barat, sehingga masuk akal jika negara-negara Islam memilih diam. Iran mendongakkan kepala, namun ditundukkan kembali bersama Negara poros setan lainnya.

Osama Bin Laden yang memilih berjuang melawan dominasi Barat, malah dicap teroris. Indonesia tak luput terkena dampak perang melawan Barat. Bom Bali hingga Kuningan semakin mengukuhkan bahwa aksi kekerasan melawan Barat ini adalah terorisme yang juga diperangi di Indonesia.

Masalah Politik
Banyak orang yang salah sangka. Banyak yang berpikir ini masalah agama, padahal ini murni politik hubungan antar Negara.

Islam adalah sebuah kekuatan yang sangat besar (telah dibuktikan sejarah) yang dapat melawan dan bahkan mengalahkan kekuatan Barat di masa lalu. Dihantui oleh trauma masa lalu, tiada cara lain selain membuatnya “cacat” sebab jika tidak adakah jaminan bahwa Islam yang berkembang tidak akan menginvansi lagi negara-negara barat sama seperti yang dilakukannya di masa lalu? Apakah Islam bisa berperilaku tidak memaksakan keyakinannya dalam hal politik ideologinya jika suatu saat mereka yang memegang kekuasaan sepenuhnya? Berperilaku santun bukan kepada sesama pemeluk agama Islam, melainkan berperilaku santun kepada mereka yang bukan beragama Islam? Jawabannya sangat jelas, bahwa dunia Barat tidak bisa mempercayai Islam sebagai Negara yang bisa dijadikan rekan sepadan.

Jadi tidak heran jika Israel dibela barat khususnya Amerika mati-matian, sebab melalui Negara inilah kekang bukti ketidakpercayaan itu diikatkan pada Negara-negara Islam. Selain kekuatan militer yang sangat besar, Israel memang memang latar belakang historis yang sangat rumit dengan dunia Islam yang artinya sebuah konflik tanpa akhir yang membuat instabilitas yang artinya Islam akan tetap bergantung pada Barat untuk menyelesaikan masalahnya.

Alhasil Islam memang berhasil dilumpuhkan hingga saat ini, dan terus menjadi pejuang pinggiran, yang lebih parah lagi disebut dengan istilah teroris. Jika ada yang berasumsi ini masalah sentimen agama, percayalah dunia barat hanya memandang masalah ini secara politis belaka. Sama seperti Inggris yang terus menerus melemahkan dan meneroriskan perjuangan masyarakat Irlandia, demikianlah yang dilakukan oleh dunia Barat terhadap Islam. Dan ini bukan persoalan agama.

Islam di Indonesia
Melihat perkembangan Islam di dunia saat ini memang mencemaskan. Bagi saya yang hidup di Negara yang berpenduduk Islam terbesar di dunia, seakan-akan masa depan Indonesia turut terblok– larut dalam prasangka dunia Barat terhadap dunia Islam termasuk Indonesia yang seakan-akan bisa juga jatuh bersama Negara-negara Islam lainnya di bawah politik Barat dan Negara adidaya Amerika.
Adanya anggapan bahwa Indonesia adalah Negara Islam fundamental memang ada berkembang. Namun kenyataannya, apapun bentuknya Islam di Indonesia ternyata lebih moderat, sesuai dengan budaya asli di Indonesia. Manusia Indonesia bukan golongan orang yang dengan mudah mau melekatkan bom di dadanya dan meledakkan dirinya, meskipun anggapan itu sempat pupus sejak bom Bali oleh Amrozi cs. Teroris produk Indonesia. Namun ini tidak banyak dan tidak lama.

Faktanya Indonesia sebagai Negara memang tidak memiliki landasan kebencian terhadap dunia barat. Dunia Barat tidak melakukan terhadap Indonesia apa yang dilakukannya di Negara-negara Islam di Timur Tengah. Bahkan Indonesia cenderung memiliki hubungan baik dengan Negara-negara Barat. Besarnya perhatian Amerika bagi Indonesia juga nampak jelas melalui bantuan militer, hubungan perdagangan, dan bantuan bencana pasca Tsunami yang lalu.

Jika memang benar demikian, sangat memungkinkan untuk mengembangkan keislaman di Indonesia, yang nantinya menjadi icon baru keislaman di dunia. Apalagi sebagai sebuah Negara, Indonesia memiliki prestasi hubungan luar negeri yang sangat baik dengan berbagai Negara di dunia.

Permasalahan Islam Indonesia
Namun meskipun kesempatan itu ada, sayang tidak digunakan dengan baik. Islam di Indonesia sibuk dengan permasalahan akidah dan syariah yang tidak relevan dengan permasalahan sosial yang sangat banyak terjadi di negeri ini. Islam hanya ditekankan menjawab kemaksiatan perilaku, namun tidak menjawab persoalan lain yang lebih mendalam, misalnya permasalahan pendidikan, kemiskinan, korupsi dan sejenisnya. Di Aceh qanun dipertanyakan sebab hukuman cambuk tidak dikenakan bagi koruptor yang banyak berkeliaran di sini, melainkan hanya kepada penjudi, miras dan khalwat. Ini memalukan bahwa Islam menjadi alat penindas kaum marjinal saja. Giliran berhadapan dengan kekuasaan ia terdiam.

Selain itu Islam merelakan dirinya dijadikan media pembodohan masyarakat yang kian meluas melalui sinetron religius, fanatisme sempit, ajang kekerasan fisik, radikalisme dan fundamentalisme yang berbuntut kerusuhan dan perusakan serta perampasan hak hidup kelompok lain yang berbeda dengan dirinya.Kecerdasan Islam tidak mampu berdialog untuk meyakinkan kebenarannya, malahan menggunakan pemaksaan yang bahkan melibatkan kekerasan fisik yang terlalu jauh sebagai media dakwah.

Selain itu Islam tenggelam dalam perilaku yang ambigu. Mengklaim sebagai agama damai, namun di waktu yang sama mengijinkan terjadinya pembunuhan atas nama agama. Mengatakan sebagai agama yang menjunjung tinggi derajad wanita, namun sekaligus mengijinkan bahkan mempromosikan praktek poligami yang apapun alasannya adalah merendahkan wanita di dalam pemahaman modern.

Sebuah Solusi Benih Kebangkitan

Islam sebagai suatu ideologi agama, mesti dikaji secara kritis. Relevansi Islam sebagai agama rahmatan lil alamin harus diinteraksikan dengan nilai-nilai jaman yang terus berkembang. Umat harus dicerdaskan untuk mampu menilai keislaman tidak dengan cara yang membabi buta, melainkan dengan dialog yang lebih terbuka yang membuahkan kedalaman iman. Pengaruh Islam sebagai problem solver perlu diperluas dan diimplementasikan ke dalam berbagai dimensi permasalahan sosial yang ada di Indonesia. Jika Islam memang mampu menjawab tantangan yang ada di negeri ini, dan menghasilkan pemikiran yang bisa menyejajarkan Indonesia dengan Negara-negara maju di dunia ini mungkin mereka akan mendengar apa yang ISLAM INDONESIA KATAKAN! Pada saat itulah kejayaan Islam akan bangkit di Indonesia.

(Amos, Banda Aceh, 2007)

MASA DEPAN NEGARA ISLAM DI INDONESIA




Disampaikan dalam Mudzakarah Ilmiah di Masjid Fathullah Syarif Hidayatullah UIN Jakarta, 19-Desember-2010
Oleh: Dr.H. AMIR MAHMUD, S.Sos., M.Ag.(Pengamat Pergerakan Islam, Dosen Pasca Sarjana UNU, UMS dan beberapa Perguruan Tinggi Swasta)
I. PENDAHULUAN

Between Napolleons’s Egyptian Expedition of 1798 and the death of Lord Cromer in 1907, The core regions of the household of Islam came under either direct European control or indirect mandatory super vision.
(Semenjak ekspedisi Napoleon ke Mesir tahun 1778 sampai kematian Lord Cromer tahun 1907, wilayah yang menjadi inti Darul Islam secara langsung berada di bawah kontrol kekuasaan Eropa, dan di bawah supervisi global secara langsung)

Kita sedang menghasilkan dan sekaligus terlibat dalam revolusi global umat manusia, keadaan yang mencolok adalah tatkala gaung globalisasi itu hadir di negara-negara muslim seperti Afghanistan tak dapat merubah kultur ataupun perubahan-perubahan di aspek lain. Maka dengan mudah negara hegemoni yang dipimpin oleh Amerika membuat isu teroris untuk kepentingan berkampanye ke negara sekutunya untuk memerangi teroris yang menghasilkan peralihan kekuasaan dari Taliban kepada kekuasaan boneka Amerika. Hingga kini isu tersebut berlanjut kepada umat Islam di Asia Tenggara khususnya Indonesia.

Dari keterangan di atas sesungguhnya ada hal yang harus direnungkan sebagai evaluasi, sebab peristiwa-peristiwa yang terjadi terhadap umat Islam merupakan rencana (makar) yang telah direncanakan oleh musuh-musuh Islam internasional sejak beberapa tahun yang silam, sehingga Islam tidak dapat hadir menjadi kekuatan internasional (international forces) yang dapat menghantui dan menghancurkan negara adikuasa seperti Amerika.

II. DUNIA ISLAM DEWASA INI

Tidak diragukan lagi tersebarnya Islam merupakan ancaman bagi pengaruh dunia Kristen dan Yahudi. Bahkan orang-orang Islam sempat mendongkel penguasa-penguasanya di beberapa tempat dan wilayah satu per satu.

Daerah mereka jatuh ke tangan Islam, hingga ibu kotanya Konstantinopel yang merupakan benteng terkuat di dunia saat ini jatuh pula ke tangan penakluk muslim dari kerajaan Bani Utsmaniyah.
Dapat dicatat di sini diantaranya dunia Islam antara lain Maroko, Tunisia, Libya, Mesir, Afghanistan, Saudi Arabia, Malaysia, Filipina, Indonesia, dan lain-lain. Oleh karena potensi kekayaan yang ada dalamnya, maka dunia Islam semenjak berabad-abad dijajah oleh bangsa asing, yang berideologi dan beragama lain. setelah Perang Dunia II, satu demi satu negeri-negeri Islam melepaskan diri dari belenggu penjajahan menjadi negeri yang merdeka dan mempunyai pemerintahan sendiri.
Istilah dunia Islam muncul baru seabad yang lalu dan dikategorikan sebagai kelompok kekuatan Dunia ke-3 atau negara terbelakang. Mereka sejak mendapatkan kemerdekaannya dari para penjajah dipenuhi dengan tarik-menarik oleh berbagai ideologi untuk membentuk pemerintahan masing-masing.

Sejumlah besar umat Islam menderita akibat dominasi musuh Islam, Palestina diduduki Israel sedang penduduk asli muslim diusir mereka dari tanah airnya, muslim Turki di Cyprus tidak diberi tempat hidup oleh umat Kristen Orthodoxm dan di Jerman ditindas. Umat Islam di Filipina bagian selatan sejak lama mendapat tekanan dan penindasan dari penguasa yagn beragama Katholik, umat Islam di Arabia Selatan berkorban selama perang saudara. Barat telah melakukan segalanya untuk menyatukan kekuatan yang berawal dengan British Commonwealth, NATO, USA dan terakhir kesatuan Eropa Barat.

III. ISLAM INDONESIA DALAM SOROTAN SOSISO-SEJARAH

Sejalan dengan proses penyebaran Islam di Indonesia, pendidikan Islam sudah mulai tumbuh meskipun masih bersifat individual. Pengembangan dakwah Islam yang dipelopori oleh pemuka-pemuka, tokoh-tokoh di masyarakat secara persuasif tersebut dengan memanfaatkan lembaga-lembaga masjid, langgar, surau. Maka terbentuklah lembaga khusus untuk pelaksanaan pendidikan bagi umat Islam di Indonesia bernaam pesantren, yang diperkirakan pada abad ke-13 dan mencapai perkembangan yang optimal pada abad ke-18.

Walaupun didasarkan pada versi yang sangat disederhanakan atas suatu proses sejarah yang sebenarnya sangat kompleks, namun cukup alasan untuk menyimpulkan bahwa sejak akhir abad ke-15, Islam telah menggantikan Hinduisme dengan senjata utama bagi langkah-langkah dan kegiatan politik di Jawa, dan tak ayal lagi, munculnya dakwah sebagai kerajaan yang paling kuat pada waktu itu, menjadi panah yang ampuh bagi penyebaran Islam di Jawa

Selanjutnya sesuai dengan posisi elite santri dalam proses sosialisasi ajaran Islam melauli khutbah, ceramah agama dan pengajian-pengajian telah menempatkan mereka sebagai referensi sosial umat. Posisi tersebut memberikan peluang mereka untuk memobilisasi umat baik secara sosial dan politik. Proses ini pemerintah kolonial mengatur dan melakukan pengamatan yang ketat terhadap berbagai gerakan sosial Islam dimana elite santri bertindak sebagai pemimpin. Poses perubahan dalam masyarakat tsb kadang bisa ditandai oleh pertentangan yang terus menerus diantara unsur-unsur. Sejalan dengan itu tidak bisa dipungkiri bahwa anggota masyarakat itu kadang bisa terikat secara informal oleh norma-norma, nilai-nilai, dan moralitas umum, dan kadang bisa juga karena adanya tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa.
Secara historio-Kultural, Islam di Indonesia memiliki citra yang sangat positif, Islam datang dengan citra damai dan telah memberikan andil yang sangat besar dalam meningkatkan peradaban nusantara, organisasi Islam (pergerakan sosial, seperti: politik, ekonomi, pendidikan) telah memainkan peranan penting dalam perlawanan terhadap kolonial sejak masa awal gerakan nasionalisme, namun akhirnya mereka harus menerima kenyataan atas peranannya kurang sentral dalam institusi pemerintahan dikemudian.

- Di abad ke-19 telah tercatat 4 perlawanan santri (santri insurection) melawan imperalis Belanda :

Pertama
: Di Sumatera Barat (1821 – 1828) – tidak dinamakan pemberontakan santri sebagai Perang Padri. Hanya disebutkan munculnya sejumlah pemberontakan santri di Sumatera Barat sebagai akibat Haji-haji yang menentang golongan adat Pemberontakan ini diakhiri setelah adanya invasi militer Belanda.

Kedua : Di Jawa Tengah (1826 – 1830) – tidak menyebut-nyebut nama Pangeran Diponegoro. Seorang pangeran yang merasa berhak atas tahta kerajaan Jawa tetapi dikarenakan dalam harapannya itu mempermaklumkan perang jihad secara besar-besaran melawan pemerintah kolonial dan orang-orang pribumi yagn menjadi kaki tangannya.

Ketiga: Di Jawa Barat Laut (1940 – 1880) Pemberontakan-pemberontakan rakyat yang di pelopori oleh ulama-ulama setempat telah memusnahkan hampir seluruh komunitas orang-orang Eropa dan bagian terbesar dari tokoh-tokoh pribumi yang bekerja sebagai pamong raja. sebagai response dari umat Islam Banten yang berusaha melepaskan dirinya dari tindasan tanam paksa dan pemberontakan santri ini terjadi pada tahun 1834, 1836, 1842 dan 1849.

Keempat
: Di Sumatera Utara (1873 – 1903) tokoh ulama Aceh yang masih terkenang akan kejayaan mereka di masa lampau, yang pada umumnya menganggap rendah semua orang asing berhasil memerangi Belanda selama 30 tahun.

Di tahun 1900 – 1952 bahkan jauh sebelum tahun tersebut telah berjalan gerakan sosial, da’wah, politik dan pendidikan dalam bentuk surau (pengajian) yang dari bibit inilah muncul berbagai ormas seperti :

- Terbentuknya Pengajian Surau Jembatan Besi Padang Panjang dibawah Asuhan Syaikh Abdullah, kemudian tumbuhlah Sumatera Thawalib Padang Panjang yang kemudian menjadi pusat pertumbuhan ulama dan zuama Islam di Indonesia.
- SDI (Serikan Dagang Islam) tanggal 16 Oktober 1905 oleh Haji Samanhudi, yang diubah namanya menjadi SI (Serikat Islam) pada tahun 1911,

- Muhammadiyah, tanggal 18 Nopember 1912 oleh KH. Ahmad Dahlan.

- Al-Irsyad tahun 1914 oleh Syaikh Ahmad Surkasi al-Anshari,

- Mathla’ul Anwar tahun 1916 di Banten,

- Persis (Persatuan Islam) tahun 1923 oleh A. Hassan,

- NU tahun 1926 oleh Syaikh Hasyim Asy’arie

Dalam gerakan politik sebagai berikut :

- PSI (Partai Sarikat Islam) tahun 1923, - PEMI (Persatuan Muslimin Indonesia) di Sumatera, - MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) tahun 1937 sebagai wadah Federasi Kumpulan Islam, - Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) tanggal 7 Nopember 1945 sebagai partai politik Islam di Indonesia, - PPP (Partai Persatuan Pembangunan) sebagai wadah fusi partai-partai: NU, Parmusi, PSII tahun 1973, dll.
Pada masa awal kemerdekaan tahun 1945, para pemimpin Islam sendiri terpecah belah dalam perdebatan negara Islam. Sebagian menginginkannya, sebagian yang lain hanya menuntut pemerintah mendukung pelaksanaan syariat Islam atas pemeluk-pemeluknya saja, sedangkan yang lain lagi menyuarakan sebuah demokrasi plural dan liberal.

Perkembangan nasionalisme di negara-negara Islam atau yang berpenduduk mayoritas muslim berjalan bersamaan dengan gerakan modernisme Islam. Salah satu pembaruan dengan gerakan modernisme itu adalah dibidang politik yang di pelopori oleh Jamaludin Al-Afghani, yang terkenal dengan gerakan pan Islamisme. Semangat perlawanan berbasiskan kesadaran Islam yang dilakukan oleh Afghani segera mendapat sambutan di banyak negeri muslim. Afghani dan dua murid utamanya Rasyid ridha, dan muhammad Abduh, dengan segera menjadi icon bagi bagi semangat persatuan dan Pergerakan Islam. Meskipun tidak banyak perannya dalam kehidupan politik umat Islam di Indonesia, namun minimal khilafah masih merupakan kebutuhan. Wacana ke Islaman sebagai kekuatan penentang kolonialisme telah lama digunakan di wilayah nusantara. Resistensi dengan ideologi Jihad juga sangat berkembang di Indonesia sebagai cri khas gerakan sosial abad ke 19 dan ke 20, yang mendasarkan diri pada basis magis-keagamaan, yakni perang jihad. Beberapa contoh resistensi dalam skala yang terbatas antara lain, pemberontakan ciomas (1886), pemebrontakan Banten (1888).

IV. Ideologi Islam sebagai Perlawanan

Adapun faktor penyebab perubahan masyarakat itu bermacam-macam antara lain : ilmu pengetahuan, kemajuan teknologi serta penggunaannya oleh masyarakat, Agama, juga perubahan harapan dan tuntutan manusia. Dalam perwujudan perubahan sosial itu bisa berupa kemajuan ( progress ) ataupun kemunduran ( regress).
Pada Dunia ketiga yang umumnya memiliki pandangan keagamaan yang kuat, agama bukan semata ritual dan seremonial yang sakral, lebih dari itu menjadi kekuatan besar sekaligus spirit, sumber inspirasi dalam melawan penindasan. Dan ketika penindasan itu berlaku kepada kaum muslimin, segenap kaum muslimin seluruh dunia melihat dirinya telah berada di bawah telapak kaki Barat terhentak untuk membangun kesadaran akan ketertinggalan Islam berhadapan dengan Barat dan antek-anteknya., sebab itu tidaklah mengherankan justeru Islamlah yang paling reaktif menentang dominasi Barat bahakan munculnya berbagai konsepsi peradaban, ideologis, sistem politik dan sebagainya. sebagai tandingan dan penentangan terhadap Barat yang membawa ideologi sekulerisme.

Dengan munculnya berbagai kekuatan Islam yang dimulai gerakan pemurnian ajaran Islam dengan gerakan wahabi sampai kepada gerakan penyatuan kesadaran politik kaum muslimin dengan Pan Islamismenya, Ikhwanul Muslimin, Jama’at Islam, Hizb Tahrir, JAT ( dalam riset penulis) dan masih ada sejumlah beberapa

Gerakan yang menjadi kajian dan riset penulis di Indonesia, yang membuktikan bahwa masih adanya Gerakan Islam sebagai terobosan ijtihad telah mampu membakar kembali api semangat pembaruan para pemikir Islam untuk merebut kebali harga diri umat ditengah percaturan dan konflik peradaban Timur dengan Barat.

a. Tuduhan Fundamentalisme

Fenomena agama sebagai kenyataan sosial sesungguhnya tidak pernah dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Wilayah kerja agama secara sosiologis, adalah kehidupan manusia konkrit-Historis dari sejak lahir sampai matinya. Dalam realitas agama mengandung wajah ganda ( double face ), disatu sisi agama memberi dorongan atas terwujudnya etos saling menghormati dan menghargai sesama manusia. Agama juga dicirikan sebagai pemersatu aspirasi manusia yang paling sublim .

Fundamentalisme Islam sering dianggap sebagai ancaman besar bagi kehidupan seluruh umat manusia karena selalu dikaitkan kepada ‘radikalisme’, ‘ekstremisme’, dan lain sebagainya sehingga merupakan wujud perlawanan bagi setiap yang berbeda Ideologi khususnya bagi negara Barat. Sedangkan menurut Sayyed Hussein Nasr, setidaknya ada empat tipe pemikiran Islam dimuka bumi ini, yaitu Muslim modern, Messianis, Fundamental ( revival ), dan tradisional, yang kesemuanya dalam panggung sejarah kemanusiaan Dapat dipastikan bahwa Ideologi sekuler seperti, Marxisme, Sosialisme, dan Kapitalisme, maupun ideologi lainnya yang tidak memiliki basis teologis mereka saling bersatu untuk melawan gerakan-gerakan yang berlabelkan Islam untuk menegakan Syari’at Islam dimana saja berada.

Senada dengan itu Ustadz Abu Bakar Ba’syir menolak dan mengkritisi klaim fundamentalis yang dituduhkan kepada umat Islam karena hal tersebut merupakan istilah dari Amerika yang memiliki ma’na mengkotori umat Islam, lanjut beliau jika saja fundamentalis itu diartikan kembali kepada ‘dasar’, ‘fundamen’ dengan pengertian adalah seorang muslim yang menjalankan Al-Qur’an dan Hadist, maka hal tersebut bisa dimaklumi namun demikian tentunya berbeda dengan pemahaman yang ada pada tradisi Protestan khususnya di Amerika yang disertai menegakkan perlawanan tehadap Ilmu pengetahuan. Para politisi dan praktisi Barat, Khususnya Amerika Serikat, suka meracunkan istilah Islam dengan menggenaralisasi sebagai kekuatan politik secara sempit. Islam dipandang sebagai ideologi yang berbasis pada kekuatan agama. Wujud gerakan Islam fundamentalis yang kaku sering diartikan sebagai perwujudan masyarakat Islam secara keseluruhan, sehingga mendorong lahirnya banyak gagasan dari kalangan Barat yang berhaluan pragmatis untuk merekayasa penghancuran Islam sebagai kekuatan politik dan ideologi.

b. Gerakan Islam

Para pimpinan dan pemikir gerakan islam senantiasa “menengok” ke pusat dunia Islam, baik langsung maupun melalui Barat dan usaha mengalihbahasaan atau penyaduran karya ulama dan sarjana muslim dari luar guna memperkaya bahan rujukan yang dapat dibaca langsung dalam bahasa Indonesia, sehingga menghasilkan karya pemikirannya sendiri, seperti Munawar Khalil dengan bukunya Kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, Kelengkapan Tarikh Muhamamd saw; Hasby Ash-Shiddiqy dengan bukunya Pedoman Shalat, Puasa, Zakat; Hamka dengan bukunya Tafsir Al-Azhar, Tasauf Modern.

Tahun 1980-an, usaha perkenalan buah pikiran para ulama dan sarjana muslim dari luar, khususnya dari Mesir seperti Sayid Quthb dengan karya Tafsir al-Qur’an Fii Dzilalil Qur’an; Abul hasan al-Hasany an-Nadwy dengan karyanya Mua dza khasiral ‘al alamu bin Nhithathil Muslimin. Hingga kini telah ribuan kitab dari luar telah diterjemahkan.

Gejala tersebut di atas memberi petunjuk kepada kita bahwa gerakan Islam Indonesia bukan saja ingin tetap menjaga dan menneruskan kesinambungannya dengan sejarah tapi juga ingin tetap melestarikan syariat Islam serta Islam yang dipadukan dengan analisis-analisis tentang perkembangan sosio-kultural masyarakat dan bahkan kritisme yang tajam terhadap barat berdasarkan madzhab empat yaitu Hambali, Maliki, Syafi’i dan Hanafi.

Secara keseluruhan sejarah umat Islam Indonesia mesti melacak gerakan mendasar atas lahirnya suatu peristiwa, terutama yang berkenaan dengan gerakan Islam kontemporer. Tahun-tahun pembentukan apa yang disebut sebagai Islam politik juga dengan kuat diletakkan pada konteks geografis Timur Tengah.

Untuk itu kedudukan agama dalam persfektif kehidupan manusia, secara perseorangan dan sosial memberikan pengaruh yang sangat besar dalam berbagai aspek. Secara sosiologis sekurang-kurangnya agama memiliki 3 fungsi sosial, yakni ;

a. Fungsi pemeliharaan ketertiban masyarakat
b. Fungsi pengintegrasian nilai
c. Fungsi pengukuhan.

Dalam kaitannya dengan Islam sebagai pemeliharaan ketertiban masyarakat, pengintegrasian nilai, dan pengukuhan nilai, sejalan dengan pernyataan Gellner, “ Islam tidak lahir ditubuh 2 kerajaan…., Islam muncul sebagai semen bagi kerajaan, bukan sebagai karat yang menggrogoti kerajaan-kerajaan itu. “.

Hal ini jelas sekali Islam sebagai perekat dan pandangan hidup bagi pemeluknya yang dapat membangkitkan umatnya dalam aspek-aspek hidup dan kehidupan secara menyeluruh.

Menurut Muzaffar, kebangkitan Islam memiliki 3 parameter, yakni ;

A. Munculnya kesadaran dari dalam kalangan umat Islam sendiri akan pentingnya Islam sebagai sistem hidup.
B. Dijadikannya kerajaan masa lalu, yaitu masa nabi Muhammad saw dan khulafaurasyidin sebagai pola, model dan rujukan sekaligus sebagailandasan perjuangan.
C. Islam dipandang sebagai alternatif dan karena itu dianggap sebagai ancaman Ideologi lainnya.
Disi lain Mutalib ,menyatakan bahwa kebangkitan Islam ditandai 4 ciri, yakni :

A. Adanya keinginan yang lebih besar untuk memandang Islam sebagaiagama ( ad-dien ), dimaksudkan agama sebagai pandangan hidupmenyeluruh, mencakup seluruh aspek kehidupan.
B. Kecendrungan untuk memandang kaum muslimin yang berbeda-beda di dunia ini sebagai satu kesatuan komunitas muslim.
C. Rasa tegar dalam mendukung nilai-nilai cita-cita dan solusi-solusi Islam yang mendasar.
D. Pembentukan Badan-badan atau organisasi-organisasi tipe gerakan yang bertujuan untuk membuat orang Islam lebih terorganisir.

Kajian mengenai gerakan Islam kontemporer sesungguhnya tidak hanya memerlukan konstruksi teoritik, tetapi juga memerlukan tersedianya pengetahuan empiris yang dapat menjelaskan dan mengidentifikasi gerakan.

Gerakan Islam di abad ke 20, sesungguhnya merupakan konstruksi dari Gerakan Islam di masa modern melawan pengaruh, kekuasaan dan kekuatan para adikuasa didalam wilayah Islam. Jansen mengatakan, bahwa gerakan anti dominasi Barat telah merata keseluruh kawasan Asia, dari India sampai ke Indonesia. Oleh sebab itu tidaklah berlebihan bila saja disimpulkan bahwa gerakan Islam merupakan salah satu “kekuatan dunia” yang besar, potensial dan berbeda cara pandang ideologis dalam membangun tata sosial, politik, ekonomi, bahkan peradaban dunia, sebagaimana ditegaskan oleh Raschke Kirk dan Taylor, tugas agama dalam hal ini adalah menggerakkan agama atau melindungi pengikutnya dari tekanan dan kehidupan yang tidak menyenangkan serta menghalangi manusia untuk boleh hidup sempurna, termasuk dalam partisipasi sosial dan politik.

Guna memahami pergarakan Islam kontemporer, telaah ini bertolak dari sebuah tinjauan terhadap pandangan yang memahami islam Indonesia dari dua paradigma, yaitu Islam tradisional dan Islam modernis.

Pada umumnya, gerakan Islam baik yang tradisional maupun modernis muncul sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Akar gerakan Islam tradsional mulai bersemi sekurang-kurangnya bersamaan dengan masuk dan semakin meluasnya pemeluk Islam di pedalaman Jawa pada saat mana Islam mulai mengalami proses menyerap dan diserap oleh unsur budaya lokal.

Ada bermacam jenis gerakan perubahan, pengelompokkan ini tentu saja dapat berubah-ubah karena suatu pergerakan biasanya ingin mencakup berbagai aspek dari kehidupannya, seperti pergerakan politik nasionalis, komunis atau kaum umumnya ingin merubah bentuk pemerintahan dan lain-lain.

Dengan mengikuti pencirian ini, gerakan pembaharuan agama berkeinginan untuk sistem agamanya. Pada pembaharuan Islam misalnya upacara agama harus diluruskan, kebenaran harus dicari bukan dari penafsiran yang berlebih-lebihan dari pihak penguasa melainkan langsung dari ayat-ayat kitab suci.

Gerakan Islam sebagai Islamic Ideology adalah gerakan sosial dan keagamaan yang mengajak umat Islam kembali kepada “Pinsip –prinsip Islam yang fundamental, kembali kepada kemurnian etika dengan cara mengintegrasikannya secara positif (dengan doktrin agama) pada tataran culture structure, dana kembali kepada keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dan masyarakat pada tataran social stucture. Di dalam Islam secara sosio-historis gerakan Islam ditemukan kaidah-kaiadah”Islami” yang di nampakan secara berbeda oleh pemeluknya pada masa kurun waktu yang sama dan ditempat yang berlainan seperti ada dari gerakan Islam mentransformasikan diri ke arah political rupture (tindakan kekuatan) sebagai bentuk perlawananya dengan Jihad, Juga ada dengan menggunakan cara melalui pengembangan pendidikan,sosial, budaya, ekonomi sebagai wujud perlawananya melepaskan segala keterikatannya dengan sistem Jahiliyah.

c. Perang Ideologi dan Kebudayaan.

Teknologi Barat dengan segala penemuannya yang sangat menakjubkan dan telah membanjiri seluruh dunia, membawa pula kebudayaan materialisme dan sekularisme yang sangat bertentangan dengan Kebudayaan Timur (baca Islam) yang berdiri teguh di atas dasar kebutuhan dan keagamaan. Seorang Austria yang telah memeluk agama Islam pada tahun 1922, bernama Leopold Weiss, menulis sebuah buku bernama “The Road to Mecca”, dikatakannya:” Sekarang kita hidup pada suatu masa, di saat Timur tidak dapat tinggal apatis dan berpangku tangan terhadap barat yang mulai mendesak mereka, karena beribu ribu kekuatan , baik politik, kemasyarakatan. Dan ekonomi datang mengetuk pintu dunia Islam. Maka apakah dunia Islam ini akan tunduk dan menyerah pada peradaban barat.

Dr. Edward J. Byng, menulis buku pada tahun 1954, dalam bahasa Jerman , berjudul “Die welt der Araber” ( Dunia arab ) yang kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Inggris dengan nama “The World of the Arab” yang ketika itu di rubah kedalam Bahasa Belanda dengan persyaratan harus dirubah menjadi “De Derde Macht” ( kekuatan ketiga), dan dimintakan kata pengantar bagi buku itu kepada Sultan Otsmaniyah yang paling akhir yang sudah dima’zulkan, yaitu Sultan Abdul Majid II.

Dia menceritakan bahwa kebangkitan suatu umat yang jumlahnya mencapai 400 juta manusia yang memeluk agama yang satu, agama Islam, yang mendiami daerah yang membentang luas, yang memanjang dari Tanger di sebelah barat (Afrika Utara ) sampai ke Irian ( di Indonesia ) disebelah timur, dan garis melebarnya dari tanah tinggi Pamir ( Asia Tengah) disebelah utara sampai ke daerah timur dan selatan dari Benua Afrika di sebelah selatan. Lebih di uraikan lagi bahwa umat yang jumlahnya mencapai 1/6 penduduk dunia itu pasti akan datang masanya mendesak maju ke depan, bergandengan bahu dengan dua kekuatan dunia yang sudah ada, menjadi kekuatan ketiga. Digambarkannya, bahwa kalau Amerika dengan sekutunya mempersatukan diri di dalam “Pakta Atlantik”, dan Rusia dengan seluruh satelitnya mempersatukan diri di dalam “Pakta warsawa”, maka kekuatan Ketiga sedang mencari bentuk persatuannya dengan berdasarkan”Pan Islamisme” dan dia mengatakan bahwa masanya pasti datang tidak lama lagi, umat Islam tampil ke depan menjadi kekuatan ke Tiga, dengan Dunia Arab menjadi pelopornya.
Sekiranya dapat dijelaskan dari kedua ideologi kekuatan tersebut, yaitu:

Marxisme terdiri dari tiga unsur: Pertama, Filsafat dialektik yang diambill dari Hegel (1770-1841 ), dari dilectical Materialism muncullah apa yang dinamakan :Historial Materialism” walaupun contoh yang diberikan kepada dialektiknya Hegel bahwa feodalisme dilawan oleh kapitalisme menjelma menjadi sosialisme adalah suatu contoh yang arbitraire. Kedua, Sistem ekonomi tertentu, diantara bagian-bagian pentingnya adalah gagasan bahwa nilai itu terdapat dalam kerja, dan bahwa ekonomi liberal, yang dinamakan keuntungan itu pada hakekatnya adalah nilai kelebihan ( surplus value) yang dimakan oleh golongan bermodal (kapitalis). Ketiga, adalah tentang ketatanegaraan dan revolusi . Bagi Kaum komunis negara adalah suatu mesin bagi suatu lapisan masyarakat untuk menindas lapisan lain, untuk sampai pada kekuasaan tersebut mereka memakai segala upaya termasuk kekerasan dan kekjaman.

Kapitalisme, merupakan lawan dari komunisme, terutama dalam pandangannya tentang masalah kerja dan nilai kerja. Bila komunisme menitik beratkan, bahwa jasa hasil produksi yang terbesar adalah pada tenaga kerja (buruh), maka kaum kapitalis beranggapan bahwa jasa terbesar adalah pada kapital atau pemilik kapital ( modal). Dengan demikian mereka beranggapan, bahwa kapital adalah merupakan kunci suksesnya dunia usaha. Didalam masyarakat kapitalis setiap Individu memiliki hak dan kebebasan yang luas dalam dunia usaha. Dalam perjuangan hidup berlaku semboyan yang terkenal Laisser faire, Laisser passer, yakni biarkan apa yang terjadi menurut kodrat masing-masing dan jangan diadakan pembatasan. Segala bentuk persaingan adalah bebas menurut kadar kemampuan nya. Siapa yang kuat adalah yang menang, siapa yang lemah dialah yang ditendang. Dari sinilah muncul liberalisme..

Untuk mempelajari perubahan-perubahan pada suatu masyarakat perlu dilakukan pengambilan contoh dan pembuatan sintesa data yang berbeda. Gejala-gejala perdebatan di sektor yang berbeda-beda seperti sektor ekonomi, politik, agama, pendidikan serta dari bermacam daerah, dan golongan. Oleh karena itu implikasi paling fundamental dari gerakan Islam kontemporer adalah usaha yang giat untuk mengerahkan segala tatanan masyarakat pada sebuah bentuk visi dan realitas yang berinspirasikan ideologi.

d. Issue pemahaman Kelompok Islam Keras vs Moderat

Adanya pengelompokan yang dikembangkan oleh beberapa intelek muslim yang sekuler yang juga merupakan Jaringan asing maupun ormas tertentu dalam mencitrakan pemahaman dan karakter, dimaksudkan untuk memberikan penilaian buruk terhadap pelaku-pelaku Islam yang komitmen, Seperti dengan sebutan Islam Keras atau ekslusif yaitu suatu kelompok yang berusaha keras mempertahankan kemurnian ajaran agama ( ortodoksi ) dengan melakukan cara-cara aksi-aksi kekerasan dan ini dapat terlihat pada kehidupan keagamaan dan kemasyarakatan, maupun dalam pandangan dan sikap politiknya berkaitan dengan negara. Kebijakan dan tindakan negara terhadap kelompok ini di tafsirkan sebagai politik kekerasan dapenindasan serta peminggiran Islam dari proses dan kehidupan politik, serta melanggar hak-hak sipil dan bahkan lebih luas lagi.

e. Tuduhan Aksi Jihad adalah Teror

Perjalanan sejarah menyebutkan bahwa orang yang menjadi aksi kekerasan di Indonesia maupun di negara lain, selalu diawali dengan sikap keberagamaan yang militan dan menginduk pada organisasi dan sejumlah tokoh spiritualnya Dalam hal ini kita dapat melihat bagaimana dunia menilai gerakan Pan Islamisme, Ikhwanul Muslimin Mesir (Hasan Al-Banna tahun 1927), Jama’tul Muslimin Pakistan (Abul’ala Al-Maududi), Revolusi Islam Islam Iran (Ayatullah Khumaini 1979), Jama’ah Jihad Fisabilillah Lampung (Warsidi), Komano Jihad Warman, Jama’ah Imran (Bandung) dan lain sebagainya, merupakan kelompok keagamaan yang memperjuangkan prinsip-prinsip keagamaan secara mendasar dengan cara yang ketat, tegas, dan keras tanpa kompromi, yang disebut dengan fundamentalis, militan.

Mochtar Buchori, menjelaskan, Aktivitas yang dilakukan oleh kelompok radikal keagamaan secara realistik memang sering menimbulkan ketegangan dalam kehidupan masyarakat. Meskipun demikian, adanya ketegangan tersebut bukan berarti mereka bisa begitu saja disebut radikal.

Menurut Bruce Lawrence, memasukan sosiologis fundamentalisme kedalam suatu “tuntutan kolektif”, yaitu tuntutan agar keyakinan dan nilai-nilai etika yang diajarkan oleh agama diterima oleh mayarakat dan secara legal wajib dilaksanakan.

Suatu keniscayaan bagi setiap kelompok untuk dapat menanamkan apa yang menjadi tujuan padangan hidupnya.

Maka berangkat dari pengertian tersebut radikalisme muncul karena adanya suatu keterkaitannya atas pertentangan secara tajam antara nilai-nilai yang diperjuangkan oleh kelompok tertentu dengan tatanan nilai yang berlaku atau dipandang mapan pada saat itu, sehinga pandangan tersebut lebih menafikan pluralisme dan kecendrungan untuk menggolongkan manusia hanya berdasarkan agama atau kepercayaan yang dianutnya.

Meskipun keberadaan predikat aksi kekerasan itu sangat santer terhadap pandangan fundamentalis, namun bukan berarti final dan berhenti tanpa suatu kajian-kajian ilmiah. Sebab aksi-aksi yang dipandang sebagai suatu perbuatan sadis itu dapat dipertanggungjawabkan oleh sebuah penelitian, sebagai tindak lanjut mencari akar kekerasan, sehingga apakah cara pandang dan penghayatan atas agama yang selama ini menjadi fokus pemberitaan berbagai media adalah keliru, atau merupakan ekspresi dari ketidak adilan dan kedzhaliman dari suatu aksi hegemoni kekuasaan atau juga merupakan suatu gerakan dari jaringan internasional yang menanamkan rasa solidaritas. Sebagaaimana adanya isu jaringan teroris Jama’ah Islamiyah dan Al-Qaedah pimpinan Usamah Bin laden. Serta sejumlah peneliti asing yang mempunyai kepentingan-kepentingan terhadap ideologi global seperti Sidney Jones dan pengakuan Mantan Anggota Jama’ah Islamiyah Nasir Abas yang menulis buku “Membongkar Jama’ah Islamiyah”

Pada dasarnya aksi kekerasan merupakan suatu ekspresi dari perilaku yang menggunakan sauatu kekuatan sebagai pembelaan diri dengan motif yang berbeda-beda. Dari aksi kekerasan tersebut tidak sedikit mendatangkan banyak korban, sehingga kekerasan dipandang sebagai wasilah untuk mencapai tujuan. Dan hal ini banyak dijadikan landasan pada semua faham atau ideologi tertentu, dimana langkah tersebut diambil sebagai proses siasat memperoleh suatu perubahan yang diinginkan.

Menyikapi kekerasan, sudah jelas bahwa kekerasan berbeda dengan ‘jihad’ atau ‘irhab’ yang selama ini selalu menjadi sterotype bagi sebagian kalangan. bahwa definisi teror yang merupakan perbuatan dengan menggunakan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai suatu tujuan, terutama tujuan politik dan bahkan istilah ‘teror’ dalam bahasa Arab sering disalahartikan dengan dicantumkannya kata ‘irhab’, selalu yang tertuju kepada umat Islam. Dengan tegas bahwa pengertian dalam bahasa Arab ini tidak sama dengan kata ‘irhab’ yang dipergunakan dalam Al-Qur’an, ketika memerintahkan agar orang beriman melakukan ‘irhab’ terhadap orang kafir .

Ada kekeliruan orang –orang yang tidak suka terhadap syariat Islam , Jawahir Thantawi, dalam tulisannya menjelaskan bahwa timbulnya persepsi keliru tentang syariat Islam yang diidentikan dengan kekerasan yang pada umumnya karena dikaitkan dengan pelaksanaan hukum pidana Islam. Misalnya, ada hukuman mati (qishash) yang dikenakan kepada kejahatan nyawa, murtad, dan pemberontakan, sanksi hukuman potong tangan bagi pencuri lelaki atau perempuan, sanksi hukuman lempar batu (rajam) bagi pezinah lelaki permpuan.

Karena itu, kekeliruan pemahaman yang menyamakan syari’ah Islam sebagai kekerasan karena diidentikan hukuman pidana Islam itu tidak tepat.

Jika melihat berbagai gerakan jihad sepanjang sejarah muslim dapat diketahui terdapat kelompok-kelompok muslim yang menggunakan atas nama jihad untuk mencapai agenda sendiri. Namun terdapat pula kecenderungan yang keliru di Barat yang menganggap radikalisme jihad merupakan fenomena umum dalam masyarakat muslim secara keseluruhan. Tragedi peledakan Gedung WTC, 11 September 2001, sebagai kali pertama selogan momentum “perang melawan teroris” kepada dunia oleh Amerika, yang merupakan lanjutan dari kesepakatan Ronald Reagan dan juga George Bush, pada tanggal 14 April 1986, yang memerintahkan pengeboman terhadap dua kota di Libya, Tripoli dan Benghhazi, menyusul pada hari kamis, 21 Agustus 1998 Amerika Serikat melakukan kembali serangan militer terhadap negara Sudan dan Afghanistan.

Pada aksi tersebut, tidak sedikit dari elemen bangsa mengeluarkan pernyataan sikap keras mengutuk pemboman oleh Amerika Serikat atas negara Muslim tersebut. Bercermin pada aksi tersebut Aksi kekerasan merupakan fenomena didalam kehidupan modern.

Menurut seorang pakar perang Israel Martin van Craveld, jika seseorang atau negara memerangi aksi kekerasan (terorisme), maka dia akan menjadi teroris. “When you fight terrorism, you become a terrorist”.

Sementara itu gerakan-gerakan radikal tumbuh karena berbagai inspirasi, agama, sosial, dan politikMenurut Hoarce M Kallen, radikalisme ditandai oleh tiga kecendrungan umum : Pertama, radikalisme merupakan respon terhadap kondisi yang sedang berlangsung. Respons tersebut muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan, atau bahkan perlawanan. Masalah-masalah yang ditolak dapat berupa asumsi, ide, lembaga, atau nilai-nilai yang dapat bertanggung jawab terhadap keberlangsungan keadaan yang ditolak.

Kedua, radikalisme tidak berhenti pada upaya penolakan, melainkan terus berupaya mengganti tatanan lain. Ciri ini menunjukkan bahwa di dalam radikalisme terkandung suatu program atau pandangan dunia (worldview) tersendiri.

Ketiga, kaum radikalis memiliki keyakinan yang kuat akan kebenaran program atau ideologi yang mereka bawa. Dalam gerakan sosial, kaum radikalis memperjuangkan keyakinan yang mereka anggap benar dengan sikap emosional yang menjurus pada kekerasan.

Sementara Pandangan Barat sering menghubungkan antara jihad dengan terorisme. Yang sesungguhnya dua hal tersebut mempunyai sudut pandang yang berbeda. Penggunaan kekerasan atau teror tidak langsung dikatakan sebagai terorisme. Karena teror bisa dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan kriminal dan persnal.

Sebaliknya seperti yang dikemukakan Thornton, terorisme adalah penggunaan teror sebagai tindakan simbolis yang dirancang untuk mempengaruhi kebijaksanaan dan tingkah laku politik dengan cara ekstra normal khususnya penggunaan ancaman kekerasan. Dalam lingkup pengertian ini, Thornton membedakan dua teori pembedaan teror. Pertama, adalah enforcement terror, yang digunakan penguasa untuk menindas tantangan terhadap kekuasaan mereka. Kedua, agitational terror, yakni kegiatan teroristik yang dilakukan mereka yang ingin mengganggu tatanan yang mapan untuk kemudian menguasai tatanan politik

Dengan demikian Jihad berbeda sangat dengan aksi kekerasan. Agama telah menjadi suatu kekuatan dunia yang tidak lagi terbatas memberikan pengaruh bagi kehidupan politik melalui interaksi dengan lapisan penguasa. Bahkan yang terpenting adalah perpindahan agama dari tingkat global dan kolektif ketingkat bagian-bagian atau individu. Islam sebagai kekuatan yang memiliki prinsip bahwa kebenaran tanpa kekuatan tidak memiliki arti. Islam dalam sejarahnya didominasi oleh pengertian jihad, yang berarti kemampuan seseorang dalam mengetengahkan dirinya untuk merealisasi tujuan luhur dakwah Islamiyah. Sehingga Pengertian seperti ini hanya merupakan wajah lain dari pengertian terdahulu yang dinamakan dengan ‘terorisme internasional’.

IV. KEBANGKITAN UMAT ISLAM SUATU KENISCAYAAN


Pada kawasan Islam yang luas ini terdapat puluhan bahkan ratusan Jama’ah Islam, baik bersifat lokal, nasional, maupun Internasional dengan corak dan karakter yang berbeda-beda. Namun semuanya telah memberi warna pergerakan Islam.

W.G . Palgrave pada tahun 1872 menulis, “Umat Islam selalu sadar ketidak tentuan yang selalu terjadi dan perpecahan yang membingungkan Dunia Kristen sekarang ini, juga terhadap ketidakstabilan yang menyusahkan masyarakat Eropa modern dewasa ini. Dipandang dari sudut mereka sendiri, umat Islam bagaikan orang yang berdiri tenang di tempatnya yang kokoh kuat di tengah-tengah segala yang bergejolak, yang tidak merata.

Scawen Blunt meneruskan tulisannya sampai 15 Januari 1882, yang akhirnya dsusun menjadi suatu buku yang bernama “The Future of Islam”, Buku inilah yang pertama kali membuat ramalan tentang kebangkitan Islam.

Dia mengemukakan 4 faktor yag penting, yang menyebabkan kebangkitan umat Islam tidak pernah berhenti, yaitu:
1. Ibadah Haji yang dikerjakan setiap tahun
2. Pemusatan pemerintahan Islam yang ditanamkan “ Khilafah” yang ketika itu di Turki.
3. Adanya tanah suci Islam.
4. Berkobarnya gerakan reformasi (kebangunan).

Maka sasaran pertama yang harus dilakukan untuk melumpuhkan kebangkitan Islam, ialah mengroyok beramai-ramai Kerajaan Otsmaniyah di Turki yang dianggap sebagai pusat Dunia Islam, dan kemudian mematikan gerakan reformasi yang sedang dibangkitkan oleh Jamaluddin al_Afghani dan Syaikh Muhammad Abduh dengan gerakan yang terkenal “Pan Islamism” Adapun dua faktor lainnya sangat sukar dihapusakan, yaitu Ibadah Haji dan tanah suci Mekkah, karena keduanya merupakan dasar utama di dalm Islam.

Juga senada dengan di atas, Lothrop Stoddard dari Amerika memprediksi yang sama pula dalam Bukunya “The New World of Islam” ( dunia baru Islam), yang diterbitkan pada tahun 1921, seusainya Perang Dunia I, tetapi menjelang turun takhtanya sultan Ostmaniyah yang terakhir, pada 1924. Dia menegaskan bahwa meskipun khilafah sudah dapat ditumbangkan selama ummat Islam masih dapat bebas menegrjakan haji dan berkunjung ketanah suci Mekkah, tetap ancaman bahaya bagi Barat tidak akan hilang.

Sehubungan dengan pokok-pokok pembahasan di atas, maka ada beberapa hal yang perlu dikaji dan menjadi perhatian pada setiap muslim dan aktifis gerakan Islam diantaranya:

1. Memahami faktor kelemahannya.

a. Adanya berbagai pemikiran tidak Islami yang menghadang dunia Islam.
b. Pola integrasi umat Islam:

- adanya penyakit firaunisme, sektarisme dan vested-intereses yang menyebabkan disintegrasi umat Islam.

c. Pemisahan kepemimpinan addien dan siyasah.
d. Kurangnya pentarbiyahan yang baik.
e. Hilangnya tanggung jawab dakwah dan jihad pada umat ini.
f. Berjuang untuk mencapai mahamat yang bukan Islam

2.Memahami strategi musuh-musuh Islam dimanapun juga:

a.Merubah al-Islam dengan jalan memberikan gambaran yang salahtentang Islam. Sebagai contoh mentafsirkan

Al-Qur’an dengan cara menggunakan metode Hermeneutik.
b. Memisahkan umat Islam dari ajarannya yang hakiki, yakni Al-Islam.
c. Memisahkan dan mempertentangkan golongan umat Islam yang satu dari dan terhadap golongan Islam yang lainnya.

V. PENUTUP

Akhir dari acara seminar ini diharapkan dapat merumuskan persoalan dan memberikan sesuatu kebaikan , dan mengembangkn potensi umat pada kesadaran li’lakalimatillah iya ulya, dalam eksistensi seorang individu, keluarga masyarakat dan Negara.

Pada pertemuan kali ini dapatlah kiranya untuk dapat disimpulkan pada masing-masing pribadi peserta seminar, menilai dan berpendapat dan bersikap bagaimana seharusnya dan sebaiknya. Wallahu ‘alam, Barakallahufikum.

Source: http://arrahmah.com/index.php/blog/read/10532/masa-depan-pergerakan-islam-di-indonesia#ixzz1Aecbn1zm

Masa Depan Islam Indonesia


Salah satu surat kabar Nasional (9/10) memuat tulisan seorang Doktor dari National University of Malaysia yang berbicara tentang adanya semacam kekhawatiran (pihak asing-red) bahwa peradaban Islam di prediksikan akan kembali berjaya seperti masa Dinasti Abbasiyah (750 H-1258 M). Kiblatnya tidak lagi di kawasan Timur Tengah, tetapi Benua Asia dengan Indonesia sebagai titik sentralnya. Tentu saja banyak pihak yang sekarang merasa peradabannya (the most civilized nations) resah jika Islam di Indonesia suatu saat menggeser kejayaan mereka. Prediksi tersebut patut di cermati secara subtansial, mengingat Indonesia adalah negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia.
 

“Lima Bom” Untuk Islam Indonesia

Ketua Majlis Ulama Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta, Drs H Thoha Abdurrahman sebagaimana di wawancarai dalam sebuah harian terbitan Jawa (4/10) dalam menyikapi fenomena terkini umat Islam terkait dengan adanya aliran sesat Al Qiyadah Islamiyah menegaskan bahwa ada usaha untuk menghancurkan Islam Indonesia dengan “Lima Bom”. Yakni, bom politik, uang ekonomi, social budaya, kemasyarakatan, hukum dan agama. Targetnya adalah Islam Indonesia kiamat pada tahun 2008-2013.


Masa depan politik Islam Indonesia masih dalam pertanyaan besar. Apalagi-meminjam istilah Donny Gahral Ardian (2007)- bahwa kita sedang menyaksikan pernikahan ideologis antara Partai Demokrasi Perjuangan (PDI-P) dan partai Golongan Karya. Faksi merah-putih bertemu PDI-P. partai yang selama ini di kenal satu suara soal finalitas negara kesatuan, Pancasila dan kebhinnekaan. Semua tahu kepada siapa sinyal ideologis ini di sampaikan. Keduanya khawatir atas penguatan politik agama di berbagai belahan republic. Targetnya jelas dan mulia:pluralisme harus di selamatkan. Politik baik makro atau mikro harus di isi kader dengan basis ideologis nonsectarian. Fakta yang jelas juga terlihat ketika kedua partai politik tersebutlah yang paling serius memperjuangkan asas tunggal. 


Terkait dengan “bom ekonomi”, buku karya John Perkins berjudul Cofession of an Economic Hit Man yang di bahas sebuah majalah bulanan terbitan Jakarta dua tahun yang lalu memperkuat dugaan tersebut. Di sebutkan, pengakuan Think-Tank AS menunjukkan bukti adanya konpirasi global yang di lakukan Barat (AS-red) terhadap umat Islam Indonesia. Perkins dan sejumlah temannya memiliki sebutan sebagai economic hit man atau pembunuh ekonomi. Mereka bertugas di bawah Pengawasan Dewan Keamanan Nasional atau National Security Agency (NSA), salah satu lembaga keamanan dan intelijen terkemuka di AS. 


Imperium itu dibangun bukan melalui persaingan yang sehat dan jujur, tapi dengan cara-cara yang kotor. Mereka melakukannya dengan manipulasi ekonomi, kecurangan, penipuan, seks, merayu orang untuk mengikuti cara hidup orang Amerika. Parahnya lagi, saat penulis menyimak pemaparan pakar ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Revrisond Baswir pada saat Temu BEM Seluruh Indonesia di Yogyakarta 1-3 November baru-baru ini, disebutkan bahwa rata-rata fakultas ekonomi yang ada di negeri ini adalah pusat-pusat pengkajian ekonomi liberal, sekaligus antek-antek kolonial dan neoliberal. Lihat saja, berapa ilmu ekonomi yang mengajarkan ekonomi kerakyatan, apalagi ekonomi Islam. Semuanya jelas bagian dari grand design konspirasi global. Fakta yang menyedihkan telah terjadi ketika di awal era Suharto memerintah, negeri ini telah di “perjualbelikan” dengan pihak asing, pelaku utamanya adakah mereka-mereka yang tergabung dalam Mafia Berkeley.
Dalam aspek hukum, ada kata-kata yang menjadi rujukan ketika apa yang pernah di tuliskan seorang Wartawan Senior di Singgalang beberapa waktu yang lalu, bahwa ada asumsi konpirasi asing dalam sebuah penegakan hukum terkait kasus korupsi. Di karenakan para wakil rakyat tersebut-sebagaimana saya dengar dari salah seorang mereka- adalah buya yang begitu mencintai penerapan Adat Basandi Syarak-Syarak Basandi Kitabullah (penegakan syariat Islam-red). Kita berharap tidaklah demikian. Karena, ini adalah gaya lain Mafia Berkeley. 


Hal paling subtansial adalah ketika hari ini kita melihat banyaknya pemikiran nyeleneh dalam kehidupan beragama. Lihat kasus mutakhir tentang adanya Nabi baru. Juga, secara nasional bangsa ini semakin di teror dengan berbagai pemikiran liberal yang di dapat dari dosen-dosen lulusan Barat. Bukan sikap apatis yang di kedepankan, melainkan saya teringat kembali dengan tulisan Adian Husaini (2007) tentang peta pemikiran Islam dan trend perkembangan paham liberalisme, khususnya di lingkungan perguruan tinggi Islam. Dari laporan sejumlah mahasiswa yang mengambil kuliah S-2 studi Islam di berbagai perguruan tinggi Islam di daerahnya, rata-rata menceritakan tentang dosen yang mengajarkan paham relativisme. 


Dalam satu forum, ada seorang dosen di Malang yang secara terbuka menyampaikan bahwa Islam adalah banyak dan tidak satu.Dia berkata di depan forum: ”Islam yang mana yang Anda kembangkan? Tafsir yang mana yang bisa dijadikan rujukan? Bukankah para mufasir itu juga berbeda-beda pendapatnya?” Dalam acara di Solo, pertanyaan serupa juga diajukan seorang dosen sebuah Perguruan Tinggi Islam?. Refleksi Adian Husaini bahwa pemahaman seperti itu adalah keliru, dan sudah tercemar virus relativisme. Dari penyebaran virus relativisme di berbagai perguruan Tinggi Islam ini, sebenarnya bisa dilacak dari mana sumber dan distributornya. Relativisme adalah doktrin bahwa ilmu, kebenaran, dan moralitas senantiasa terkait dengan budaya, sosial, dan konteks historis, dan tidak bersifat absolut. (the doctrine that knowledge, truth, and morality exist in relation to culture, society, or historical context, and are not absolute). Dengan perspektif pemahaman seperti itulah maka para pengusung paham ini menerapkan pola pikir tersebut terhadap Al-Quran dan tafsir Al-Quran. Mereka biasa mengatakan, bahwa Al-Quran adalah produk budaya; bahwa tafsir Al-Quran adalah relatif karena merupakan produk akal manusia yang relatif. Ujung-ujungnya mereka mengatakan, bahwa manusia tidak tahu kebenaran, bahwa yang tahu kebenaran hanya Allah. Karena itu, kata mereka, tidak boleh mengklaim agamanya atau pendapatnya sendiri yang benar dan menyalahkan pendapat orang lain. Lebih lanjut lagi, kata mereka, hukum-hukum Islam pun bersifat relatif dan terkait dengan budaya Arab.  

Zakat sebagai Modal Kebangkitan 
 
Masa depan Islam memang ada di tangan kita. Kitalah yang menentukan apakah Islam akan kembali jaya. Maka, penyikapan utama adalah tentang persoalan klasik umat Islam. Kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan. Dalam prediksi PBB soal pertumbuhan jumlah penduduk di seluruh dunia pada tahun 2010, angka kemiskinan tingkat dunia akan mencapai 60 persen. Semua lembaga Internasional terus berupaya untuk menghilangkan angka kemiskinan ini, dan mereka tidak mampu melakukannya. Ini berarti harus ada solusi konkret umat Islam untuk mengatasi problema tersebut. 


Konfrensi Zakat Asia Tenggara II yang menghimpun para pengelola, praktisi, dan tokoh baru saja berakhir, akhirnya merekomendasikan tujuh butir rekomendasi. Dari tujuh butir rekomendasi itu, menurut Sunaryo Adhiatmoko ada tiga butir yang istimewa untuk Indonesia sebagai tuan rumah. Pertama, butir ke empat yang memaparkan bahwa perlu di kaji dan di pertimbangkan agar peran organ pemerintah yang mengatur masalah zakat dapat di tingkatkan kapasitasnya, baik dalam tingkatan Kementrian atau minimal Direktoral Jendral. Kedua, butir ke lima bahwa meminta kepada pemerintah, DPR, Organisasi Zakat dan masyarakat luas mengusahakan dan memperjuangkan agar UU yang berkaitan dengan zakat dapat diamandemen/direvisi sehingga zakat berperan secara maksimal sebagai smuber dana pembagunan umat. Ketiga, butir ke enam bahwa meminta kepada Pemerintah dan DPR agar zakat dapat/boleh mengurangi pajak/cukai. Hal ini jelas-jelas merupakan secercah harapan akan bangkitnya kesejahteraan di bidang ekonomi bila nantinya terlahir harapan tersebut.


Hal ini memperkuat pernyataan Prof. M. Ridwan Lubis, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah (2007) bahwa dalam mewujudkan peradaban Islam itu setidaknya dibutuhkan sinergi tiga komponen yaitu kesejahteraan di bidang ekonomi, stabilitas di dalam kehidupan sosial serta majunya perkembangan keilmuan. Ketiga hal ini memiliki akar yang kuat dalam ajaran Islam.

Kesejahteraan di bidang ekonomi terpancar dari rukun Islam yang menekankan zakat sebagai salah satu pilar Islam. Pilar ini mengacu kepada lorong khusus kehidupan ekonomi yang ditawarkan Islam yaitu pengakuan adanya hak milik individu pada setiap harta yang didapatnya dan juga mendorong setiap orang untuk bekerja sebanyak-banyaknya karena pekerjaan itu bernilai ibadah namun pada saat yang sama harus menyadari bahwa kepemilikan itu tidak sempurna (milk al naqish) dan disamping itu juga partisipasi untuk membagi harta kepada orang miskin bukan suatu belas kasihan (charity) akan tetapi suatu kewajiban karena dalam setiap milik individu itu melekat pula milik orang lain. 

Kepercayaan mempunyai peranan penting dalam kehidupan. Adalah hal yang sangat stategis ketika negara-negara Muslim memberikan kepercayaan dengan sangat mengharapkan Indonesia bisa mewakili mereka untuk menyuarakan pentingnya penggalian sumber zakat di tingkat dunia, untuk meringankan penderitaan orang-orang miskin. Karena zakat di berikan kepada orang miskin tanpa syarat sedikitpun. Ia, mengandung keberkahan, ketulusan dan keikhlasan. Jika kekokohan itu ada di awali iman yang kuat. Mustahil masa depan Islam akan terus seperti sekarang.

Penulis adalah Mahasiswa Pidana Politik IAIN IB PADANG, Aktivis Kabinet Peduli BEM IAIN PADANG.