VIVAnews - Pemilihan umum calon legislatif telah  digelar pada 9 April lalu. Kini, giliran Komisi Pemilihan Umum bekerja  untuk menghitung perolehan suara. Namun, dari hasil quick count atau hitungan cepat sudah terlihat partai apa yang bakal menang. 
Soal bagaimana lembaga survei melakukan quick count memang sulit dicerna. Namun, hasil quick count  itu benar adanya. Yang jelas, dari hasil pemilu itu memang tidak ada  yang mengejutkan. Partai peraih suara terbanyak tak jauh dari hasil  survei-survei sebelumnya. 
Bahwa dalam proses pemilu terjadi  kecurangan memang tak terbantahkan. Namun, situasi pemilu sekarang  sangat jauh berbeda dengan jaman Orde Baru. Kecurangan yang terjadi  tidak separah jaman Orba. Marjin error-nya kecil. Bahkan, kalaupun pemilu diulang karena kecurangan itu, hasilnya tidak akan mengubah perolehan suara secara tajam.  
Walaupun  ada kecurangan di sana sini, bagi investor tentu bukan menjadi  persoalan besar. Malah mereka menganggap positif. Buktinya, kurs rupiah  sudah menguat, indeks harga saham gabungan (IHSG) menguat, pasar  obligasi juga membaik. 
Itu pertanda investor puas dengan proses  pemilu yang berlangsung aman. Meski ada kelemahan, investor menilai  proses demokratisasi di Indonesia jauh lebih baik dibandingkan negara  tetangga seperti Thailand, Philipina atau Malaysia. 
Indonesia  yang dulu, pada 1998-2000 dikenal paling tidak stabil, sekarang justru  dianggap paling stabil. Indonesia sudah terbiasa dengan pemilu, pilkada  sehingga politik jauh lebih stabil. Sedangkan, politik Thailand akan  terus menerus rusuh karena pemerintahan hasil pemilu diturunkan secara  paksa. 
Kenyamanan lain yang dirasakan investor adalah peta  politik hasil pemilu. Bagi mereka, sepanjang yang menang adalah partai  sekuler, maka mereka tidak akan khawatir. Investor baru merasa cemas  membawa modal ke Indonesia, jika yang menang adalah partai garis keras,  seperti Pakistan. 
Faktanya, dari hasil pemilu ini terlihat yang  memperoleh suara besar adalah partai-partai sekuler. Partai-partai itu  adalah Demokrat, Golkar, PDIP, PAN, PKB, Gerindra dan Hanura. Jika  digabung perolehan suara mereka sedikitnya mencapai 60 persen. Pelaku  pasar beranggapan selama yang menang partai sekuler, maka ideologi  ekonomi tak akan berubah, tetap pro pasar. 
Kini, dengan hasil  pemilu legislatif dan menjelang pemilu calon presiden, Indonesia akan  melewati lima tahun babak akhir reformasi. Jika proses demokrasi 2009  berjalan sukses, ini akan membawa angin segar sebelum Indonesia memasuki  era baru pada 2014. 
Pemilu ini adalah masa transisi terakhir  peralihan Indonesia dari proses restrukturisasi ekonomi dan politik  secara besar-besaran yang berlangsung sejak 1998, saat krisis ekonomi  menghantam Indonesia. Pada 2014 nanti, para pemimpin dan tokoh reformasi  sudah harus menyingkir. Saat itu bukan lagi eranya bagi Megawati,  Wiranto, Prabowo, Yudhoyono, Amien Rais dan lainnya. 
Lima tahun  lagi, Indonesia akan dipimpin oleh generasi baru. Saya tidak tahu siapa  yang bakal memimpin. Namun, yang jelas ketokohan individu akan sangat  berperan dalam pemilu 2014. 
Karena itu, lima tahun ini menjadi  bagian kritis bagi Republik Indonesia. Demokrasi yang telah menciptakan  kestabilan politik adalah bekal besar bagi kelanjutan pelaksanaan  reformasi ekonomi. Pemimpin baru hasil pemilu calon presiden 2009 akan  sangat menentukan.  
Siapapun yang akan terpilih sebagai Presiden  tentu akan memiliki tugas besar. Dia harus melanjutkan reformasi  ekonomi yang sudah berjalan. Reformasi institusi birokrasi yang sudah  berlangsung di Ditjen Pajak, Ditjen Bea Cukai, harus diperluas ke  institusi lainnya. 
Stimulus fiskal jangan dihentikan untuk terus  mendorong pertumbuhan ekonomi. Tinggal bagaimana caranya, pemerintah  membuat kebijakan agar pertumbuhan ekonomi lebih berkualitas sehingga  bisa dinikmati oleh banyak kalangan. 
Apalagi, pemerintah perlu  membangun infrastruktur besar-besaran. Ini bukan saja untuk menyerap  banyak tenaga kerja, tetapi juga untuk memperlancar pembangunan ekonomi.  Bahkan, bantuan langsung tunai akan lebih baik jika dialihkan untuk  membuka lapangan kerja lewat pembangunan infrastruktur. 
Di  negara manapun, yang memiliki jumlah penduduk padat, jalan tol sudah  pasti ada. Karena itu, proyek jalan tol Trans Jawa sangat perlu  diwujudkan. Begitupun dengan infrastruktur pembangkit listrik,  pelabuhan, bandara, kereta api, termasuk jalur kereta dari bandara ke  tengah kota. 
Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk  terbesar keempat di dunia. Indonesia juga merupakan pasar paling empuk  di ASEAN. Ini adalah potensi besar yang harus terus dikembangkan oleh  pemerintah dan dunia usaha.
Jangan lupa Indonesia adalah satu-satunya negara di ASEAN yang  menjadi anggota G-20. Artinya, Indonesia merupakan salah satu dari 20  negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia. Bayangkan, anggota G20  mewakili 85 persen kekuatan ekonomi dunia dan 2/3 populasi global serta  lebih dari 80 persen kepemilikan saham dari Bank Dunia dan IMF. 
Jika  proses reformasi terus berjalan mulus dan pertumbuhan ekonomi tinggi  berlangsung secara berkesinambungan, maka saya berkeyakinan kue ekonomi  akan terus membesar. Jangan heran jika lima atau 10 tahun lagi, ekonomi  negara kita bakal menjadi 15 negara terbesar di dunia. Bahkan, 20 tahun  lagi bisa menjadi 10 top ten di dunia. Saya sangat optimistis dengan masa depan Indonesia. 
*****
Analisis ini disarikan dari hasil wawancara VIVAnews dengan Fauzi Ichsan.  Dia adalah ekonom muda bergelar Master Studi Pembangunan dari  Massachussets Institute of Technology. Mantan pialang di Singapura ini,  juga pernah bekerja sebagai peneliti di tim Harvard Institute for  International Development yang dipimpin oleh Widjojo Nitisastro. Kini,  dia juga menjadi ekonom PDI Perjuangan. 
• VIVAnews
Sabtu, 12 Maret 2011
Dunia Terbukti Salah Prediksi Masa Depan Indonesia
JAKARTA - Saat badai ekonomi mendera pada tahun 1999,  berbagai pihak dari dalam dan luar negeri meramalkan masa depan  Indonesia bakal suram. Mereka memprediksikan lima skenario yang akan  dijalani Indonesia. Di luar perkiraaan, Indonesia mampu bangkit dari  keterpurukan.
"Skenario dibuat 10 tahun lalu, saat krisis moneter mendara Indonesia," ujar Presiden SBY dalam pidato kenegaraan di Gedung DPR, Jumat (14/8/2009).
Berikut lima skenario masa depan Indonesia yang diramalkan pada tahun 1999. Pertama, akan terjadi balkanisasi di Indonesia, karena kuatnya sentimen kedaerahan. Kedua, Indonesia akan menjadi negara Islam garis keras.
Ketiga, Indonesia akan menjadi negara semi otoritarian. Keempat, Indonesia akan kembali menjadi negara otoritarian. Kelima, Indonesia mampu melalui badai perekonomian, sehingga kembali menjadi negara demokratis. Pilihan kelima merupakan skenario terakhir yang disebut hampir mustahil terwujud.
"Alhamdulillah kita bisa melalui tahun-tahun tersebut dengan selamat, sehingga Indonesia mampu menerapkan sistem demokrasi yang stabil," ungkapnya.
"Skenario dibuat 10 tahun lalu, saat krisis moneter mendara Indonesia," ujar Presiden SBY dalam pidato kenegaraan di Gedung DPR, Jumat (14/8/2009).
Berikut lima skenario masa depan Indonesia yang diramalkan pada tahun 1999. Pertama, akan terjadi balkanisasi di Indonesia, karena kuatnya sentimen kedaerahan. Kedua, Indonesia akan menjadi negara Islam garis keras.
Ketiga, Indonesia akan menjadi negara semi otoritarian. Keempat, Indonesia akan kembali menjadi negara otoritarian. Kelima, Indonesia mampu melalui badai perekonomian, sehingga kembali menjadi negara demokratis. Pilihan kelima merupakan skenario terakhir yang disebut hampir mustahil terwujud.
"Alhamdulillah kita bisa melalui tahun-tahun tersebut dengan selamat, sehingga Indonesia mampu menerapkan sistem demokrasi yang stabil," ungkapnya.
Bayangan Masa Depan Indonesia yang Suram
       Tak lama lagi rakyat kecil akan merasakan pil pahit. Bersamaan gulung  tikarnya semua sentra-sentra industri kecil, yang banyak menyerap  tenaga kerja. Pengangguran semakin berjibun. Orang miskin semakin  berjejer-jejer, tanpa memiliki lagi harapan masa depan. Hal ini  berkaitan dengan keputusan pemerintah, tentu dalam hal ini, langkah  Presiden SBY, yang menandatangani Perjanjian Perdagangan Bebas  Asean-Cina (CAFTA).
Sejatinya Indonesia terlalu memaksakan diri ikut ke dalam sistem perekonomian dunia, tanpa diserta pertimbangan yang matang. Sektor ekonomi menengah ke bawah masih sangat rapuh. Hal ini sejak zaman Presiden Soeharto sampai Presiden SBY, sektor ekonomi menengah ke bawah tidak pernah dibangun dengan sungguh-sungguh. Justru sejak zaman Orba sampai sekarang ini, justru yang mendapatkan proteksi, modal, dan lisensi, para pengusaha besar (konglomerat), yang sudah berubah menjadi kartel, dan menguasai jaringan usaha dari hulu sampai ke hilir.
Sementara itu, pengusaha menengah ke bawah, yagn notabene jumlah banyak, tak pernah mendapatkan sentuhan pemerintah, dan dibiarkan hidup dengan sendirinya. Pemerintah sejak zaman dinasti Soeharto sampai SBY, relatif sangat kecil porsi yang diberikan ke pengusaha menengah yang menjadi tulang punggung ekonomi nasional, melalui aktivitas ekonomi di sektor riil. Pemerintah masih tetap bersikap konservatif, terus berkutat kebijakan pada sektor ekonomi makro. Sehingga dengan kebijakan seperti ini, tak mungkin mengangkat kehidupan pengusaha menengah kecil. Sampai sekarang suku bank yang ditetapkan Bank Central (BI), yang diatas 14 persen, yang tidak mungkin dapat menupang usaha-usaha sektor riil.
Ditengah-tengah sektor ekonomi dari kalangan pengusaha menegah kebawah yang megap-megap ini, Presiden SBY bersama denga pera pemimpin Asean menandatangani perjian CAFTA, yang akan berdampak hancurnya seluruh perekonomian rakyat. Indonesia akan hanya menjadi negara konsumen, yang akan menjual produk-produk barang-barang dari Cina. Aktivitas sektor indusrti kecil menengah akan punah dengan sendiri. Segala barang dari Cina pasti akan masuk kedalam pasar domestik Indonesia, dari kota sampai ke desa-desa. Tak ada barier (hambatan) atau restrik (pembatasan) dengan adanya perjanjian itu. Bahkan, sekarang saja belum diberlakukan perjanjian CAFTA, Indonesia sudah kebanjiran barang-barang dari Cina, baik yang legal atau illegal.
Tapi, bersamaan dengan CAFTA akan banyak pabrik yang gulung tikar, tidak akan mampu lagi, menghadapi gelombang serbuan dari barang-barang Cina, yang pasti membanjiri pasar domestik. Produk-produk ‘home industri’ Cina yang dibeli negara, kemudian di eksport ke negara-negara Asean itu, tak lain hanya menjadi pembunuh rakyat di kawasan Asean. Meskipun, negara-negara lain, diluar Indonesia sudah jauh lebih siap menghadapi serbuan barang-barang Cina dibandingkan dengan Indonesia. Karena, memang barang-barang Indonesia sangat tidak kompetitip, bukan hanya kaulitas yang rendah, tetapi juga harga yang mahal. Karena, produk barang-barang terlalu banyak dibenani variabel, diluar faktor ekonomi, seperti pungli, berbagai perizinan, dan juga upeti-upeti, yang mengakib atkan tambahan biaya.
Seharusnya pemerintah Indonesia melakukan proteksi terhadap industri dalam negeri Indonesia, dan melindungi industri dalam negeri yang m asih dari kemampaun melakukan persaingan ditingkat regional, termasuk menghadpai barang-barang Cina. Cina yang memiliki jumlah penduduk sebesar 1,3 milyar, seharusnya menjadi pasar barang-barang dari negara-negara Asean, tetapi kenyataannya, negara-negara Asean yang menjadi tempat pembuangan barang-barang yang diproduksi oleh Cina.
Banyak negara-negara industri maju, yang bersikap proteksionis, khususnya untuk melindungi rakyat mereka. Amerika, Jepang, Perancis, dan beberapa negara lainnya, juga mereka melidungi rakyatnya. Petani di Amerika tetap mendapatkan subsidi dari pemerintah Amerika, meskipun Amerika sudah terikat dengan perjanjian perdagangan bebas, tapi Amerika bersikeras memberkan perlindungan para petani mereka dengan jalan memberikan subsidi.
Indonesia menghadapi masa depan yang suram dengan tingkat pertumbuhan ekonomi, yang paling tinggi, hanya 6 persen, dan mungkin dibawah 6 persen, sangat sulit untuk mengatasi jumlah angkatan kerja yang terus bertambah. Sementara itu, pemerintah tidak mau melindungi pengusaha menengah dan kecil, yang banyak menyerap tenaga kerja, tetapi justru sekarang ini pemerintah dalam hal ini Presiden SBY, ikut dalam perjanjian bebas dengan Cina melalui CAFTA, yang akhirnya akan mematikan seluruh sektor ekonomi menengah kebawah, yang banyak menopang mereka. Inilah pahitnya kehidupan di bawah pemeritahan rejim SBY.
Asset-asset negara dan sumber daya alam dikuasai asing, sementara sentra-sentra produksi rakyat habis akibat serbuan barang-barang Cina, inilah keadaan yang dihadapi Indonesia di masa depan.
Wallahu’alam.
Sejatinya Indonesia terlalu memaksakan diri ikut ke dalam sistem perekonomian dunia, tanpa diserta pertimbangan yang matang. Sektor ekonomi menengah ke bawah masih sangat rapuh. Hal ini sejak zaman Presiden Soeharto sampai Presiden SBY, sektor ekonomi menengah ke bawah tidak pernah dibangun dengan sungguh-sungguh. Justru sejak zaman Orba sampai sekarang ini, justru yang mendapatkan proteksi, modal, dan lisensi, para pengusaha besar (konglomerat), yang sudah berubah menjadi kartel, dan menguasai jaringan usaha dari hulu sampai ke hilir.
Sementara itu, pengusaha menengah ke bawah, yagn notabene jumlah banyak, tak pernah mendapatkan sentuhan pemerintah, dan dibiarkan hidup dengan sendirinya. Pemerintah sejak zaman dinasti Soeharto sampai SBY, relatif sangat kecil porsi yang diberikan ke pengusaha menengah yang menjadi tulang punggung ekonomi nasional, melalui aktivitas ekonomi di sektor riil. Pemerintah masih tetap bersikap konservatif, terus berkutat kebijakan pada sektor ekonomi makro. Sehingga dengan kebijakan seperti ini, tak mungkin mengangkat kehidupan pengusaha menengah kecil. Sampai sekarang suku bank yang ditetapkan Bank Central (BI), yang diatas 14 persen, yang tidak mungkin dapat menupang usaha-usaha sektor riil.
Ditengah-tengah sektor ekonomi dari kalangan pengusaha menegah kebawah yang megap-megap ini, Presiden SBY bersama denga pera pemimpin Asean menandatangani perjian CAFTA, yang akan berdampak hancurnya seluruh perekonomian rakyat. Indonesia akan hanya menjadi negara konsumen, yang akan menjual produk-produk barang-barang dari Cina. Aktivitas sektor indusrti kecil menengah akan punah dengan sendiri. Segala barang dari Cina pasti akan masuk kedalam pasar domestik Indonesia, dari kota sampai ke desa-desa. Tak ada barier (hambatan) atau restrik (pembatasan) dengan adanya perjanjian itu. Bahkan, sekarang saja belum diberlakukan perjanjian CAFTA, Indonesia sudah kebanjiran barang-barang dari Cina, baik yang legal atau illegal.
Tapi, bersamaan dengan CAFTA akan banyak pabrik yang gulung tikar, tidak akan mampu lagi, menghadapi gelombang serbuan dari barang-barang Cina, yang pasti membanjiri pasar domestik. Produk-produk ‘home industri’ Cina yang dibeli negara, kemudian di eksport ke negara-negara Asean itu, tak lain hanya menjadi pembunuh rakyat di kawasan Asean. Meskipun, negara-negara lain, diluar Indonesia sudah jauh lebih siap menghadapi serbuan barang-barang Cina dibandingkan dengan Indonesia. Karena, memang barang-barang Indonesia sangat tidak kompetitip, bukan hanya kaulitas yang rendah, tetapi juga harga yang mahal. Karena, produk barang-barang terlalu banyak dibenani variabel, diluar faktor ekonomi, seperti pungli, berbagai perizinan, dan juga upeti-upeti, yang mengakib atkan tambahan biaya.
Seharusnya pemerintah Indonesia melakukan proteksi terhadap industri dalam negeri Indonesia, dan melindungi industri dalam negeri yang m asih dari kemampaun melakukan persaingan ditingkat regional, termasuk menghadpai barang-barang Cina. Cina yang memiliki jumlah penduduk sebesar 1,3 milyar, seharusnya menjadi pasar barang-barang dari negara-negara Asean, tetapi kenyataannya, negara-negara Asean yang menjadi tempat pembuangan barang-barang yang diproduksi oleh Cina.
Banyak negara-negara industri maju, yang bersikap proteksionis, khususnya untuk melindungi rakyat mereka. Amerika, Jepang, Perancis, dan beberapa negara lainnya, juga mereka melidungi rakyatnya. Petani di Amerika tetap mendapatkan subsidi dari pemerintah Amerika, meskipun Amerika sudah terikat dengan perjanjian perdagangan bebas, tapi Amerika bersikeras memberkan perlindungan para petani mereka dengan jalan memberikan subsidi.
Indonesia menghadapi masa depan yang suram dengan tingkat pertumbuhan ekonomi, yang paling tinggi, hanya 6 persen, dan mungkin dibawah 6 persen, sangat sulit untuk mengatasi jumlah angkatan kerja yang terus bertambah. Sementara itu, pemerintah tidak mau melindungi pengusaha menengah dan kecil, yang banyak menyerap tenaga kerja, tetapi justru sekarang ini pemerintah dalam hal ini Presiden SBY, ikut dalam perjanjian bebas dengan Cina melalui CAFTA, yang akhirnya akan mematikan seluruh sektor ekonomi menengah kebawah, yang banyak menopang mereka. Inilah pahitnya kehidupan di bawah pemeritahan rejim SBY.
Asset-asset negara dan sumber daya alam dikuasai asing, sementara sentra-sentra produksi rakyat habis akibat serbuan barang-barang Cina, inilah keadaan yang dihadapi Indonesia di masa depan.
Wallahu’alam.
Langganan:
Komentar (Atom)