Selasa, 22 Maret 2011

Masa Depan Islam di Eropa



Obsesi Barat saat ini terhadap niqab, atau cadar yang menutup wajah secara penuh, tampaknya telah berubah menjadi bagian dari rencana bawah sadar mereka untuk membatasi Arab dan Islam, walaupun secara simbolis. Niqab tidak benar-benar merepresentasikan Islam, dan para politisi Barat pun tahu itu. Namun niqab telah menjadi target kebencian mereka karena dianggap sebagai simbol budaya yang asing, untuk masyarakat Eropa.

Bayangkan, bagaimana misalnya yang mengenakan pakaian seperti itu adalah perempuan India, atau Sikh dan Budha? Apakah parlemen Eropa masih menghabiskan seluruh sesi membahas niqab?
Perdebatan Teologi terhadap niqab dan kemarahan Barat terhadapnya tampaknya menjadi produk sampingan dari Islamofobia, sebuah fenomena yang sekarang tengah mengamuk di Eropa; lihatlah sekarang telah meluas pada fobia-masjid dan di lain waktu pada fobia-kubahnya. Jika tren ini berlanjut, akan datang waktunya parlemen Eropa melarang orang mempunyai jenggot panjang dan mencukur kumis mereka. Maka, akan ada nama aneh dan lucu terhadap jenis fobia yang satu ini!



Ada krisis nyata pada hati nurani di Barat. Ketika giliran Islam datang, Eropa tampaknya meniadakan masa lalunya yang mengagung-agungkan kebebasan dan kesetaraan. Masalah niqab merupakan ekspresi iman atau kebiasaan, itu bukanlah sebuah kesalahan.

Sementara itu kaum intelektual Barat selalu diam tentang berbagai masalah yang ada selama ini; homoseksual dan perkawinan gay dan lesbian, dan kaum intelektual Eropa tetap bersimpati kepada siapa saja yang telah mengkritik Islam dan umat Islam. Kritik Islam dilihat sebagai bagian dari kebebasan berekspresi Eropa.
Parlemen Prancis telah memutuskan untuk melarang niqab, dan menyebutnya sebagai ancaman bagi sekularisme negara Prancis. Namun, ditinjau dari hal ini, sekularisme tidak bersalah. Larangan niqab, sebelumnya adalah larangan terhadap jilbab, tidak ada hubungannya dengan sekularisme. Sebagai sebuah doktrin, sekularisme seharusnya membela hak-hak setiap orang, terutama minoritas. Sekularisme seharusnya melindungi hak-hak kebebasan beragama dan identitas. Ini seharusnya pernyataan pluralisme dan toleransi beragama.



Moto terkenal Prancis, bahwa kebebasan, kesetaraan, dan kebebasan seharusnya ditambahkan dengan frasa, "hanya untuk non-Muslim."

Larangan niqab adalah skandal moral serta menghina tradisi Barat. Untuk satu hal, komunitas anti-niqab berasumsi bahwa setiap wanita yang mengenakan niqab (dan mungkin setiap pria yang mempunyai jenggot) adalah sebuah bom waktu yang harus dijinakkan. Komunitas anti-niqab tidak membeda-bedakan ekstremis dan moderat.

Tidak ada bukti nyata hubungan antara niqab dan teror. Semua operasi teroris yang terjadi di Eropa--dari London hingga Madrid--telah dilakukan oleh orang-orang yang memamerkan wajah mereka. Serangan yang dilakukan laki-laki bertopeng dan perempuan di dunia Arab dan Islam jarang terjadi dibandingkan dengan yang dirancang oleh individu yang menunjukkan wajah mereka. Teroris selalu ingin dilihat dan diakui. Itulah cara mereka.

Inilah potret ironis dari filosofis Pencerahan Eropa; orang-orang seperti John Locke dan Montesquieu dan Kant, sedang dibanting jatuh oleh cucu-cucu mereka. Lihatlah di Leeds, Inggris, lebih dari 30 kuburan Muslim telah dirusak. Di Birmingham, toko yang dimiliki oleh warga negara Muslim diserang.

Namun, yang mungkin tak pernah habis dimengerti oleh para intelektual Barat itu adalah kenyataan bahwa semangat dan obsesi agama yang berhubungan dengan identitas Muslim menyebar di Eropa. Minoritas Muslim di Eropa tampaknya berpikir bahwa masa depan Islam bergantung pada hal-hal seperti memakai niqab, menumbuhkan jenggot, atau mendirikan kubah masjid. Islam mungkin merupakan agama paling cepat yang berkembang di Eropa.



Kecenderungan masyarakat Muslim di Eropa untuk menempatkannya "secara universal" harus pula diimbangi dengan sesuatu yang terjadi di sekeliling mereka. Ada kecenderungan bagi Muslim Eropa untuk lebih khawatir tentang Palestina, Irak dan Afghanistan.

Negara-negara Barat mempertahankan dan memungkinkan praktik kebebasan beragama tanpa hambatan. Tapi mereka juga ingin mempertahankan warisan budaya mereka dan melindungi dari ancaman yang dirasakan, terutama ketika ancaman ini - datang dari dunia Islam, bukan hanya di Eropa.

Sebuah polarisasi identitas berlangsung dalam dua kelompok, masing-masing terobsesi dengan yang lain, dan masing-masing meyakinkan keunggulan sendiri. Jika hal ini terus berlangsung, dekade berikutnya hanya akan menjadi seburuk yang terakhir seperti sekarang ini. (sa/av)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar